Pengertian Euthanasia
Eauthanasia berasal dari kata yunani eu berarti baik, dan thanatos
artinya mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah
dan tanpa rasa sakit. Oleh karena itu, euthanasia sering disebut juga
dengan mercy killing (mati dengan tenang). Dalam bahas arab dikenal
dengan istilah qotlu al-rahmah atau Taysir al-Maut.
Secara medis, euthanasia baru dilaksanakan jika penyakit tersebut tidak
mungkin disembuhkan lagi. Namun demikian, faktor ketidak mampuan biaya
juga menjadi pertimbangan.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk
meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan
meninggal; juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Dilihat dari segi orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari
keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan
pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila
pasien sudah tidak sadar). Tetapi tidak pernah ditemukan tindakan
euthanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa persetujuan pasien maupun
pihak keluarga, karena hal ini berkait dengan kode etik kedokteran.
2. 2. Macam-macam Euthanasia
Macam-macam euthanasia sangat banyak sekali, dan dilihat dari berbagai macam sudut pandang yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
A. Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal:
1. Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan
dengan tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek
atau mengakhiri hidup si pasien.
Contoh euthanasia aktif, misalnya, ada seseorang menderita kanker ganas
dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering pingsan. Dalam
hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian
dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2. Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan
atau tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara
sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup kepada pasien.
Contoh euthanasia pasif, misalnya, penderita kanker yang sudah kritis,
orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh, atau orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka penderita bisa
meninggal. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
3. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan
sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia
membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia
pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
B. Dari Sudut Maksud (Voluntarium)
Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:
1. Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian.
2. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak
langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan
penderitaan.
C. Dari Sudut Otonomi Penderita
Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:
1. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).
2. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).
3. Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted judgement).
D. Dari Sudut Motif dan Prakarsa
Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
1. Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang
meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak
tersembuhkan atau karena sebab lain.
2. Prakarsa dari pihak luar; artinya orang lain yang meminta agar
seorang pasien dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain
itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau
belas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena
ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.
Dalam pembahsan ini, kami hanya akan membahas dua bentuk macam
euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Karena kedua
macam inilah yang paling terkenal dan paling sering terjadi dan
dilakukan oleh orang. Hal itu dilakukan karena kemungkinan banyak yang
belum tahu hukumnya, atau sudah tahu tetapi tidak mengatahui secara
mendalam sampai pada sumber hukum dan cara istimbath hukumnya.
BAB III
DALIL EUTHANASIA
Tidak ada dalil yang secara gamblang menerangkan tentang euthanasia,
baik yang aktif maupun yang pasif. Baik dalam al-Quran maupun Hadits.
Namun, secara global ada beberapa dalil yang mungkin dapat dijadikan
landasan dengan metode dan istimbath tentang euthanasia, yaitu sebagai
berikut;
1. Al-Quran surat al-Isra’ ayat 33, sebagai berikut:
•
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[853]. dan Barangsiapa dibunuh
secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan[854]
kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
Dan juga surat an-Nisa’ ayat 29.
…….. •
“…..dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
2. Hadits Nabi saw.
عن أبي هريرة قال, قال النبي صلى الله عليه وسلم : الذي يخنق نفسه يخنقها فى النار والذي يطعنها يطعنها فى النار.
Dari Abu Hurairah berkata, Nabi saw. bersabda; barangsiapa mencekik
lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula dalam neraka. Dan
barangsiapa menikam diri, maka ia akan menikam diri pula dalam neraka.
عن ثابت عن الضحاك عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من حلف بملة غير
الإسلام كاذبا متعمدا فهو كما قال, ومن قتل نفسه بحديدة عذب به في نار
جهنم.
Dari Tsabit bin al-Dahhak mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda:
barangsiapa dengan sengaja bersumpah palsu atas nama agama selain Islam,
maka ia seperti apa yang ia katakana itu. Dan barangsiapa membunuh diri
dengan benda tajam, maka akan di siksa dengan seperti itu pula dalam
neraka.
Dari dalil-dalil di atas, dapat kita ketahui bahwa perbuatan pembunuhan
atau pelakunya diancam dengan siksaan yang amat pedih nanti pada hari
akhir. Pembunuhan adalah menghilangkan nyawa orang, baik dengan cara
yang di sengaja maupun tidak disengaja, kecuali yang memang berhak untuk
dibunuh.
Dengan demikian Islam sangat melerang pembunuhan dengan cara-cara yang
tidak wajar, karena Islam sangat menghargai jiwa manusia, Islam
mengharuskan agar manusia memelihara jiwa manusia (hifzh al-nafs). Jiwa
meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah
SWT. Oleh karenya seseorang tidak mempunyai kewenagan dan dilarang
melenyapkan nyawa siapapun tampa kehendak dan aturan Allah sendiri.
Bahkan dalam Islam jika ada orang yang dengan sengaja membunuh orang
lain tanpa alasan yan dibenarkan oleh syara’ maka ia sama hanya dengan
membunuh masyarakat seluruhnya. Hal ini Allah jelaskan dalam al-Quran
surat al-Ma’idah (132). Begitu besarnya Islam memberikan penghargaan
terhadap jiwa, sehingga perbuatan yang merusak atau menghilangkan nyawa
orang lain ini diancam dengan hukuman yang setimpal, yaitu dengan hukum
qishos atau diyat.
Dalil-dalil di atas memang tidak secara langsung menjelaskan tentang
euthanasia, akan tetapi melihat keumuman ayat tersebut maka segala
bentuk pembunuhan yang tidak dibenarkan oleh syara’ masuk dalam larangan
ayat dan hadis tersebut diatas. Karena pada dasarnya euthanasia adalah
salah satu dari bentuk pembunuhan meskipun dengan cara yang pelan, halus
dan berbeda.
BAB IV
MANHAJ EUTHANASIA
Karena tidak adanya dalil yang secara khusus menjelaskan euthanasia,
maka dalam makalah ini, kami akan menguraikan dan mencari hukum
euthanasia ini dengan cara menggunakan metode qiyas. Adapun definisi
qiyas secara umum adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu
kasus yang tidak disebutkan dalam nash (al-Qur’an dan al-Hadis), dengan
suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan illatnya.
Illat adalah sesuatu yang menentukan keberadaan hukum.
Setelah kita menentukan metode yang sesuai dalam penentuan istinbath
hukum, maka langkah selanjutnya adalah menemukan persamaan illat yang
terkandung dalam nash berikut:
Dalam ayat al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 33:
•
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar dan
Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.
Illat yang dapat kita ambil dari ayat tersebut adalah pengharaman atau
larangan menghilangkan nyawa orang. Berhubung tidak ada nash baik itu
dari al-Qur’an maupun hadis yang menerangkan secara khusus tentang
euthanasia itu sendiri, maka kami penulis beranggapan bahwa ayat
diataslah yang paling cocok sebagai sandaran qiyas untuk masalah
euthanasia ini.
Dalil hadis Nabi saw. Sebagai berikut:
عن أبي هريرة قال, قال النبي صلى الله عليه وسلم : الذي يخنق نفسه يخنقها فى النار والذي يطعنها يطعنها فى النار.
Dari Abu Hurairah berkata, Nabi saw. bersabda; barangsiapa mencekik
lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula dalam neraka. Dan
barangsiapa menikam diri, maka ia akan menikam diri pula dalam neraka.
Dalam hadis tersebut kami juga tidak menemukan hukum euthanasia secara
jelas dan pasti, kami hanya menemukan kesamaan illat yang terkandung di
dalamnya, yaitu orang yang mencekik lehernya (membunuh dirinya) akan
dimasukkan dalam neraka. Illatnya adalah menghilangkan nyawa, baik
nyawanya sendiri atau nyawa orang lain.
BAB V
ISTINBATH HUKUM EUTHANASIA
Berdasarkan dalil–dalil dan manhaj yang telah kami uraikan di atas,
bahwa pada dasarnya tidak ada dalil al-Quran maupun hadis Nabi saw. yang
secara khusus mengharamkan euthanasia, dalil-dali di atas masih
bersifat umum dan tidak secara eksplisit mengarah pada pengharaman
dilakukannya euthanasia, sehingga membutuhkan manhaj atau metode untuk
menentukan dan mengetahui secara pasti hukum dari euthanasia.
Dalam hal ini, seperti yang kami jelaskan sebelumnya bahwa kami
menganggap metode qiyas adalah metode atau manhaj yang tepat untuk
menentukan keharaman euthanasia. Ayat al-Quran surat al-Isra’ di atas
kami jadikan sebagai ayat ashal, yang mengandung hukum larangan membunuh
tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’. Sedangkan illatnya adalah
menghilangkan nyawa manusia. Kemudian hadis Nabi saw. mengenai larangan
mencekik (membunuh dirinya) juga kami jadikan hukum ashal, karena
meiliki illat yang sama, yaitu menghilangkan nyawa.
Euthanasia diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif. Dengan kata lain pembunuhan ala euthanasia ini juga
menghilangkan nyawa orang meskipun dengan cara yang lembut dan
meringankan serta tidak terasa sakit.
Pembunuhan seperti yang digambarkan pada ayat di atas mempunyai illat
yang sama dengan pembunuhan ala euthanasia. Yaitu sama-sama
menghilangkan nyawa manusia. Menghilangkan nyawa manusia tampa alasan
yang dibenarkan oleh syara’ hukumnya haram. Dengan demikian, pengharaman
atau larangan pembunuhan dalam ayat di atas juga dapat berlaku
pembunuhan ala euthanasia.
Amir Syarifudin menyebutkan bahwa pembunuhan untuk menghilangkan
penderita si sakit, sama dengan larangan Allah membunuh anak untuk
tujuan menghilangkan kemiskinan. Nampaknya Amir Syarifudin meng-qiyaskan
pembunuhan ala euthanasia ini dengan ayat yang menerangkan larangan
membunuh anak karena takut miskin, seperti yang terjadi pada zaman
jahiliyah dulu. Karena juga mempunyai illat yang dianggapnya sama, yaitu
sama-sama takut miskin. Hal ini jika euthanasia dilakukan dengan alasan
ketidakmampuan keluarga atau keluarga tidak mempunyai apa-apa lagi
kalau pengobatannya diteruskan, sehingga meminta kepada dokter untuk
mengakhiri hidup si pasien.
Menurut Amir Syarifudin, Tindakan dokter dengan memberi obat atau
suntikan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup pasien adalah termasuk
pembunuhan disengaja. Ia berarti mendahului takdir Allah, meskipun
niatnya adalah untuk melepaskan penderitaan pasien atau juga melepaskan
tanggungan keluarga. Akan tetapi apabila dokter tidak lagi memberi
pasien obat, karena yakin obat yang ada sudah tidak bisa menolong, dan
mengizinkan si pasien dibawa pulang, dan seandainya si pasien itu
meninggal, maka sikap dokter itu tidaklah termasuk perbuatan pembunuhan.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat
matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat
dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan , yaitu sebagaimana disebutkan
dalam hadits berikut yang artinya adalah:
“Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga
alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus
dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya
dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari
Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus
dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya”. (HR Abu Dawud
dan An-Nasa’i)
Dengan demikian euthanasia tidaklah termasuk dalam tiga kategori seperti
yang telah dijelaskan oleh Nabi saw. karena pada prinispnya pembunuhan
ala euthanasia terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului
takdir. Dan karena Allah telah menentukan batas akhir usia manusia.
Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari
ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan
kepada-Nya. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda yang artinya
“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan
musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah
Allah dan oleh karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau
kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya. Seperti yang Allah
jelaskan dalam al-Quran surat yunus ayat 56 sebagai berikut:
Al-Mulk:1-2).
“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.
Kemudian dalam surat al-mulk Allah juga menjelaskan sebagai berikut;
,
“Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Eutanasia juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada
keadaan dan cepat putus asa padahal Allah swt menyuruh manusia untuk
selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya. Bagi manusia
tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama masih ada
tanda kehidupan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar.
Dan Allah tidak akan member suatu cobaan kecuali Allah akan menghapus
dosanya. Dalam hadits Nabi sw sebagai berikut;
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah
menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang
menusuknya. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kami menganggap bahwa dua jenis euthanasia ini memiliki hukum yang sama,
meskipun praktek dan pengertiannya sedikit berbeda, karena keduanya
sama-sama mempunyai unsur menghilangkan nyawa orang. Memang dalam
euthanasia pasif sebagian ulama membolehkannya, namun kami disini kurang
sependapat dengan pendapat itu, karena setelah kami meneliti dan
mengkaji praktek euthanasia dalam beberapa sumber, dan bahkan dari
pendapat dokter, ternyata mengundung unsur membunuh dengan cara yang
super lembut dan halus, sehingga hampir tidak terasa oleh yang menderita
penyakit.
Menurut kami, membiarkan si penderita itu lebih baik dari pada disuntik
atau diberi obat yang mempercepat kematiannya. Karena hal itu tidak
termasuk dalam kategori euthanasia, baik aktif maupun pasif. Allah lebih
mengetahui tentang hal-hal yang menderita pada si pasien. Jika pasien
itu mati karena disuntik atau diberi minum obat, tetapi suntikan dan
obatnya bukan untuk mempercepat kematiannya, maka hal itu diluar dugaan
dan tidak termasuk dalam kategori euthanasia.
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa: adapun yang dimaksud
euthanasia adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa
rasa sakit. Dalam hal ini euthanasia itu dilarang menurut agama, medis
maupun hukum formil.
Yang menjadi dalil dalam pengharaman euthanasia ini adalah surat
al-Isra’ ayat 33 yang menjelaskan tentang perngharaman membunuh sesama
makhluk hidup secara umum.
Adapun istinbath hukum yang kita pakai adalah metode qiyas, yang mana
pengertian qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu
kasus yang tidak disebutkan dalam nash (al-Qur’an dan al-Hadis), dengan
suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan illatnya.
Illat adalah sesuatu yang menentukan keberadaan hukum.
Dari ayat surat al-Isra’ ayat 33 itu diterangkan bahwa pembunuhan itu
diharamkan, dan itu merupakan ayat yang secara umum membahas masalah
itu. Berhubung tidak ada ayat yang secara khusus membahas tentang
euthanasia maka kami mengambil illat dari ayat itu bahwa euthanasia juga
dilarang karena termasuk dalam kategori menghilangkan nyawa sesorang.
Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat
matinya seseorang, baik disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat
dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan , yaitu sebagaimana disebutkan
dalam hadits berikut yang artinya adalah:
“Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga
alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus
dirajam (sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya
dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari
Islam (murtad), kemudian memerangi Allah dan Rasulnya, maka ia harus
dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat kediamannya”. (HR Abu Dawud
dan An-Nasa’i).
Demikian ulasan makalah tentang euthanasia yang bisa kami berikan,
kranaya ada kesalahan dalam pengetikan, penyusunan, maupun pengambilan
data mohon pembaca memberikan kritik dan saran kepada kami penulis.
Terima kasih atas partisipasi dalam ikut serta membahas makalah kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar